2008-03-24

Pemenang dan Pecundang


Pemenang dan Pecundang

Akhir tahun sering dipenuhi dengan perasaan waswas. Penilaian kinerja segera dilaksanakan. Bagai palu godam, hasilnya hendak meluluhlantakkan si pecundang. Jangankan bonus yang cukup untuk tamasya ke mancanegara, untuk ongkos fiskalnya pun kadang tak mencukupi. Sebaliknya, bagi pemenang, selain bonus besar, juga jaminan kenaikan gaji yang lumayan di tahun depan. Ini adalah siklus yang terus terjadi tahun demi tahun. Tak ada hal yang baru. Namun kenyataannya, gejolaknya masih dirasakan dramatis bagi banyak orang.

Si pecundang akan memainkan trik tertentu untuk memperoleh penilaian yang lebih besar dari yang seharusnya ia terima. Beribu alasan dan excuse terus dilontarkan. Industri sedang meradang, kompetisi bertambah berat, pesaing meluncurkan produk baru, prinsipal tidak mendukung, persaingan yang tak wajar, pesaing banting harga - itu adalah alasan basi yang terus dikumandangkan. Si pecundang selalu akan menunjuk hidung orang lain sebagai biang keladi kekalahan. Lagu kata "andaikan" terus dimainkan. Andaikan bagian produksi meluncurkan produknya tahun ini; andaikan bagian keuangan menyetujui down payment split; andaikan bagian support melakukan factory campaign. Tunjuk hidung, bukan tunjuk dada. Kesalahan bukan ditudingkan pada dirinya sendiri.

Kalau pun 8 dari 10 target tidak tercapai, si pecundang masih bisa menunjukkan bahwa dua target itu sebenarnya sangat besar implikasinya dibandingkan dengan yang 8. Pecundang memang tak pernah lelah mengibarkan kesuksesannya, walaupun bagai setitik nila di antara sebelangga susu. Ia berusaha menjadi pemenang bagi dirinya sendiri. Sebuah penyangkalan fakta yang teramat naif.

Lain halnya dengan si pemenang, apalagi yang mendapat kategori istimewa, biasanya tak menduga mendapat predikat itu. Ia pikir biasa- biasa saja. Ia hanya berpikir yang terbaik saat ini. Kalau sang bos melihat ia memiliki prestasi prima, baginya itu sebuah pecutan untuk lari lebih cepat lagi. Penilaian akhir tahun adalah sebuah jeda bagi si pemenang untuk mengambil ancang-ancang etape berikutnya.

Piala akhir tahun yang ia peroleh, bonus dan kenaikan gaji atau promosi, selalu beriringan dengan prestasi seluruh anggota kelompoknya. Pemenang selalu dikelilingi oleh para juara. Ia tidak pemain tunggal yang berdiri sendiri di puncak. Melainkan, ia adalah pemain kelompok yang berada di belakang sebuah kelompok juara yang saling mendukung. Pemenang tidak pernah merasa kesepian seperti pecundang. Pemenang selalu berbagi tawa dengan kelompoknya. Pemenang memiliki pendukung pemenang juga, yang pada saatnya bakal menggantikannya sebagai pemenang baru.

Pemenang selalu merujuk pada rekan sekerja untuk menunjukkan pemenang sebenarnya. Tidak menunjuk pada dirinya sendiri. Atau meminjam teori kodok yang perlu menekan ke bawah supaya ia dapat terangkat tinggi. Hanya soal waktu, pemenang macam beginilah yang dapat bertahan. Sayangnya, banyak yang mengabaikan hukum alam ini.

Saya teringat pada sebuah cerita yang pernah saya kliping 8 tahun silam, ditulis oleh sahabat saya, Debora. Ia berujar tentang pemenang yang menang justru dalam sebuah kekalahan. Bukan menang tanpo ngasorake, melainkan menang tanpa sebuah kemenangan. Pemenang yang sejati bukan ditentukan oleh sebuah piala, atau rekor, atau medali fisik, melainkan ditentukan pula oleh sikapnya sebagai pemenang tatkala medali dan piala itu justru ia berikan kepada orang lain. Ia bisa dan mampu meraihnya, tetapi ia sadar bahwa medali ini sebaiknya diserahkan kepada orang lain agar mereka menikmati kemenangan. Ia sendiri larut dalam kenikmatan kemenangan orang lain.

Begini ceritanya. Kim Peek, seorang anak yang menderita kerusakan otak, ikut dalam lomba lari 50 meter di olimpiade khusus kaum cacat tahun 1968. Sebagai atlet yang mewakili negaranya, Kim berharap membawa pulang medali karena ia memiliki rekor lari dengan kursi roda yang fantastis. Ia menanti hari pertandingan dengan antusias persis seperti atlet normal lainnya.

Saat pertandingan tiba, Kim dan kedua peserta lain memasuki arena pertandingan yang kala itu sudah di babak final. Kim bergerak cepat mendahului kedua lawannya ketika pistol berbunyi tanda perlombaan dimulai. Dia berada 20 meter di depan dan 10 meter dari garis akhir pada saat ia mendengar bunyi benda yang tertubruk di belakangnya. Ia memperlambat laju kursi rodanya. Ia melihat ke belakang.

Ia melihat seorang lawannya, anak perempuan, terbentur dinding. Kursi rodanya berbalik arah dan ia kesulitan untuk mengembalikan ke arah semula. Kim melihat, peserta lainnya - anak laki-laki - berusaha mendorong kursi roda si anak perempuan untuk kembali pada arah yang tepat.

Kim berhenti. Lalu ia pun berbalik dan menolong si anak perempuan sehingga kembali seperti semula. Bukan hanya itu. Dengan segenap kekuatannya, ia mendorong kursi roda si anak perempuan sampai ke garis akhir. Anak laki-laki yang sempat berbalik arah tadi memenangi perlombaan itu; sementara si anak perempuan meraih juara kedua; sedangkan Kim kalah.

Benarkah Kim kalah? Para penonton berdiri memberi tepuk tangan meriah untuk Kim. Mereka tidak berpikir bahwa Kim kalah. Kim tersenyum, ia merangkul si anak perempuan dan si anak laki-laki yang menjadi lawannya. Kim memang kehilangan medali emas, tetapi ia puas.

Kim adalah pemenang sejati. Sejatinya ia tidak merasa kehilangan medali. Ia tidak merasa kalah. Ia adalah sosok pemenang yang dibutuhkan bangsa ini untuk maju. Memberi jalan agar yang lain berada di karpet merah kemenangan. Ia tersenyum bangga, bahwa ia telah melahirkan jawara baru. Ia adalah jawara sejati. Kapan kita bisa seperti Kim?

Sumber: Pemenang dan Pecundang oleh Bambang W.S.

No comments:

Post a Comment

Tips dan Trik

Search This Blog