Tidak Ada Orang yang Tak Berbakat
Posted by: resonansi_2002@yahoo.co.uk
Paradigma tentang bakat sudah saatnya dirombak. Menyedihkan, tatkala seseorang terdiskreditkan karena alasan tidak berbakat. Kesempatan untuk mencoba pun lenyap, yang tertinggal hanya pemahfuman terpaksa dan menyerah pada nasib.
Bisa berkembang, syukur, tidak pun tak apa, toh memang tidak berbakat. Aduh, kasihan betul. Dalam hal ini bakat dibedakan dari spesialisasi, termasuk yang berkaitan dengan pemosisian yang berlaku dalam dunia kerja pada umumnya.
Di kalangan orangtua, misalnya, tanpa sadar sering kali begitu cepat memberi label anak A berbakat seni, anak B tidak, dan seterusnya. Hal itu mengakibatkan perlakuan pada anak pun selektif. Ada anak yang mendapat lebih banyak kesempatan mengembangkan bakat tertentu, sementara anak lain kurang.
Contoh konkret tersebut tak terkecuali juga melanda dunia pendidikan. Berapa persen siswa suatu sekolah punya kesempatan mengeksplorasi bakat-bakatnya? Paling-paling tak lebih dari 10 hingga 25 persen, selebihnya dipendam atau mengembangkan dengan cara sendiri yang belum tentu terarah dengan baik, hingga manfaatnya juga tidak terasa.
Bakat
Definisi bakat yang ditegakkan dalam koridor gugus utama umumnya mengacu pada dua pemahaman. Bakat adalah bawaan, given from God, dan bakat adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa definisi dan pendekatan bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli, ada baiknya kita yakini satu hal: yakin dan percayalah bahwa setiap insan di muka bumi ini telah memiliki bakat berupa anugerah cuma-cuma dari Sang Maha Kuasa.
Kita mengenal "Empat Karunia Ilahi" (4 Human Endowment), atau bakat alami, yakni kesadaran diri (self awareness), imajinasi (creative imagination) , hati nurani (conscience) , dan kehendak bebas (independent will). Tanggung jawab utama manusia sebagai penerima mandat itu adalah memberdayakan keempat bakat alami atau talenta atau karunia tersebut secara maksimal dan optimal.
Beberapa istilah kerap dipakai ketika berbicara bakat secara spesifik, antara lain aptitude, talent/talenta, intelligence/ inteligensi/ kecerdasan, gifted/giftedness, dan sebagainya.
Pada dasarnya istilah-istilah tersebut membawa makna bakat yang berkembang sesuai kebutuhan dan kepentingan. Namun sama-sama mengandung unsur bakat bawaan dan latihan. Misalnya yang dikemukakan Renzulli (1981), bakat merupakan gabungan dari tiga unsur esensial yang sama pentingnya dalam menentukan keberbakatan seseorang, yakni kecerdasan, kreativitas, dan tanggung jawab.
Kecerdasan, beserta aspek-aspeknya dapat diukur dengan peranti atau tes psikologi, termasuk kemampuan intelektual umum dan taraf inteligensi. Aspek-aspek kemampuan intelektual, antara lain mencakup logika abstrak, kemampuan verbal, pengertian sosial, kemampuan numerik, kemampuan dasar teknik dan daya ingat/ memori.
Kreativitas, menurut Guilford (1956), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas.
Tanggung jawab, merupakan pembuktian atau tindakan nyata dari kecerdasan dan kreativitas seseorang terkait dengan pemberdayaan dirinya serta kontribusi bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan.
Pendekatan lain mengatakan bakat adalah kondisi seseorang yang dengan suatu pendidikan dan latihan memungkinkannya mencapai kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus.
Dalam hal ini bakat merupakan interseksi dari faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. Jadi apabila seseorang terlahir dengan suatu bakat khusus, jika dididik dan dilatih, bakat tersebut dapat berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika dibiarkan saja tanpa pengarahan dan penguatan, bakat itu akan mati dan tak berguna.
Bakat adalah tingkat kemampuan yang tinggi yang berhasil dicapai seseorang dalam keterampilan tertentu, demikian menurut Tedjasaputra, MS (2003). Menampilkan bakat dibutuhkan motivasi kuat yang disebut minat, yakni kebebasan seseorang memilih segala sesuatu yang disukai, disenangi dan ingin dilakukan. Gardner (1993) mengganti istilah bakat dengan "kecerdasan" saat mengusung teori kecerdasan jamak atau multiple intelligence yang cukup banyak dipakai.
Sedikitnya ada sembilan kecerdasan atau bakat yang mungkin dimiliki seseorang, yakni logical mathematical, linguistic/verbal, visual spatial, musical, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, natural, dan moral/ spiritual. Teori Gardner ini menjadi pegangan bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan berbeda. Orang tidak dapat dipaksa berprestasi di luar bakat khusus yang paling menonjol pada dirinya.
Bakat dan Otak Manusia
Beberapa pendekatan sebelumnya merupakan pemahaman lama yang masih tetap dapat dianut karena belum usang. Khususnya dalam hal penelusuran minat-bakat dan pengembangan alat tes bakat.
Sejak Prof Roger Sperry, penerima Nobel tahun 1981 melalui penelitian panjangnya bertahun-tahun, mengungkapkan hasil temuannya tentang gelombang otak, maka paradigma baru muncul dan berkembang.
Hipotesisnya telah dibuktikannya sendiri bahwa setiap aktivitas yang berbeda memunculkan gelombang otak yang berbeda pula. Temuan ini sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang potensi dan kreativitas otak manusia.
Hal yang mengejutkan, rata-rata otak membagi kegiatannya secara jelas ke dalam kegiatan "otak belahan kiri" (korteks kiri) dan kegiatan "otak belahan kanan" (korteks kanan).
Saat korteks kanan sedang aktif, korteks kiri cenderung tenang atau istirahat, demikian sebaliknya.
Kegiatan yang paling mudah diamati tentang pergantian aktivitas otak adalah saat kita berjalan. Kaki kanan digerakkan oleh aktivitas otak belahan kiri, saat kaki kiri bergerak otak belahan kanan mengambil alih. Setiap otak memiliki keterampilan yang khas dalam urutan kerja yang sangat rapi.
Kondisi penuh harapan dari olahan dan kembangan penemuan ini adalah setiap orang memiliki banyak sekali keterampilan intelektual, berpikir, dan kreativitas, yang belum digunakan sepenuhnya. Mengacu pada beberapa definisi bakat terdahulu, jelas bahwa bakat-bakat yang dipenuhi oleh potensi intelektual, keterampilan dan kreativitas masih dapat terus digali dari diri kita.
Hal ini memberikan harapan besar dan makna sangat dalam, yakni kita tidak pernah menduga bahwa ternyata kita bukannya tidak berbakat menggambar atau tidak berbakat matematika. Yang terjadi adalah kita tidak memberi kesempatan pada kedua belahan otak untuk menggali diri dan unjuk maksimal.
Orang cenderung bukannya menggali dan memaksimalkan fungsi perbedaan kegiatan otak belahan kanan dan kiri, namun justru membatasi. Diketahui bahwa otak belahan kiri melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan logika, analisis, kuantitatif, fakta, rencana, organisasi, detail/perinci, sekuensial.
Tugas otak belahan kanan berhubungan dengan sifat keseluruhan, intuitif, sintesis, integrasi, emosi, interpersonal, perasaan, kinestetik.
Pembagian aktivitas ini melahirkan label bahwa seniman berotak kanan sedangkan ilmuwan adalah orang-orang otak kiri. Maka manusia pun seolah terbagi dikotomis, orang otak kiri dan orang otak kanan. Betulkah?
Jangan pernah menggolongkan Albert Einstein sebagai orang berotak kiri. Ia adalah manusia jenius yang berhasil menggali dan
memaksimalkan fungsi kedua belahan otaknya, sehingga melahirkan teori relativitas yang luar biasa itu.
Awalnya Einstein membiarkan otak belahan kanan melakukan aktivitas imajinasi tentang sebuah perjalanan di permukaan matahari.
Singkat cerita, perpaduan daya imajinasi dan hal lain yang dilakukan belahan kanan, serta kemampuan matematika, berpikir sistematis dan hal lain yang dilaksanakan belahan kiri, membawa dirinya pada sebuah temuan spektakuler yang maha dahsyat.
Bakat, tidak semata-mata hasil ciptaan yang mencuat secara seragam pada kesempatan berbeda, tidak pula yang hanya digambarkan oleh atribut profesi dan pekerjaan.
Bakat adalah penggalian terus- menerus dan pemanfaatan seluruh kapasitas otak secara bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan berbagai hal yang tidak itu-itu saja, atau sesuatu yang sudah telanjur dicap sebagai bakat yang terbatas.
Artinya, tidak ada orang yang tidak berbakat untuk hal tertentu, karena kita semua memiliki otak belahan kiri dan kanan. Coba saja mulai latihan menulis dengan salah satu tangan yang tidak biasa digunakan secara dominan sehari-hari. Latihlah selama satu atau dua bulan terus-menerus.
Apa yang terjadi? Ternyata tangan kita yang satu itu berbakat menulis juga. Hanya saja tangan yang satu lagi sudah telanjur
dominan dalam latihan bertahun-tahun sejak kita belajar menulis. Betul?
sumber: Tidak Ada Orang yang Tak Berbakat oleh Rinny Soegiyoharto,
psikolog di BPK Penabur